Belajar Bertanggung Jawab

Rasa tanggung jawab perlu dilatih sehingga anak dapat menerima dan menyerap perilaku-perilaku.

 

Apakah buah hati Mama Papa sudah diberi suatu tanggung jawab sehari-hari?  Tak perlu sulit, misal si 6 tahun, selalu diminta untuk mengembalikan handuknya setiap habis mandi. Atau si 10 tahun, selalu merapikan ranjangnya setiap pagi.

 

Betul, rasa tanggung jawab tidak bisa datang menghampiri anak begitu saja. Rasa itu perlu dilatih, dibangun bertahap, agar anak dapat menerima dan menyerap perilaku-perilaku positif menjadi suatu kebiasaan. Yang dimaksud dengan rasa tanggung jawab adalah anak tahu alasan mengapa ia melakukan suatu tindakan.

Nah, yang menjadi tantangan bagi kita, orangtua, adalah bagaimana anak dapat menyerap tanggung jawab tanpa merasa dipaksa, namun justru bisa menerimanya dengan fun tanpa ada penolakan keras.

SEKALI LAGI, JADILAH TELADAN

Pada prinsipnya anak-anak selalu menjadikan lingkungan sebagai contoh.  Orangtua yang terbiasa tertib, akan lebih mudah diikuti oleh anak, daripada sekedar mengomel tiap kali anak melakukan kesalahan. Dengan kata lain, orangtua yang tidak terbiasa hidup tertib, jangan terlalu berharap anaknya akan mematuhi sederet peraturan yang disodorkan.

 

Rasa tanggung jawab harus dimulai dari pemberian contoh dari orangtua. Bagaimana merapikan mainan yang selesai digunakan, mengembalikan barang yang diambil ke tempat semula, mengikuti jadwal harian dan sebagainya.

 

Bila perilaku-perilaku tersebut dilaksanakan secara terus-menerus dengan sebuah kesadaran dan tanpa paksaan, anak akan merasakan nyamannya sebuah keteraturan. Terapkan peraturan ini dengan konsisten, siapapun yang ada di rumah harus mematuhinya, ada atau tidak ada orangtuanya. Bila perlu terapkan sistem reward and punishment kalau sampai tahapan tertentu setelah sekian lama diajarkan anak belum juga bisa melakukannya.

Jadi, yuk mulai libatkan si usia sekolah dalam kegiatan sehari-hari. Meski ada si mbak, minta ia membantu merapikan kamar. Di usia 6 tahun, anak juga sudah bisa diminta untuk menaruh piring ke tempat cuci piring sehabis makan, menggantung handuk di tempatnya seusai mandi, dan sebagainya. Bila ia menjalankan tanggung jawabnya, berikan pujian. Acungan jempol atau sekedar ucapan "Wah rajinnya anak Mama!" merupakan penyemangat bagi anak untuk melakukan kembali tanggung jawab tersebut hingga pada akhirnya tanggung jawab itu berubah menjadi kebiasaan positif baginya.

BILA IA MENOLAK

Yang perlu kita sadari, tak semua usaha penanaman nilai pada sikecil akan berjalan mulus. Wajar bila satu atau dua kali ada pertentangan dari anak. Apabila ia menolak melakukan tanggung jawabnya, jangan memaksa. Pemaksaan hanya akan membuatnya merasa dituntut bahkan merasa takut dan memilih menghindari kita. Cara-cara lembut seperti memberinya pengertian atau membujuk akan jauh lebih efektif.

Saat ia meninggalkan mainannya begitu saja, misal, ajak ia untuk merapikan, "Kak, kok mainannya enggak ditaruh ke kotak mainan, nanti hilang lo!". Atau bila ia meninggalkan pakaiannya begitu saja, tegur ia secara halus dan terlibatlah dalam pekerjaan itu. Misal, anak mengoper  pakaian, kita yang menaruhnya kedalam lemari

 

Tapi sekali lagi, ini adalah  sebuah proses. Ada perjalanan panjang yang harus dilalui sebelum memperoleh hasilnya. Orangtua jangan putus asa, sekali tidak bisa, coba lagi, sampai anak benar-benar mengerti.

 

Jika buah hati tampak sudah mampu menjalankan tanggung jawab dengan baik, ia bisa diajarkan cara tanggung jawab  yang lebih besar. Tidak hanya dalam lingkup keseharian saja tapi juga dalam lingkup sosialisasi mereka.

PENTINGNYA PERAN PAPA

Ayah juga mengambil peran penting dalam menanamkan rasa tanggung jawab pada anak. Ayah dapat mengajak anak untuk ikut mengunci pagar, membersihkan motor atau mobil sehingga dapat terbentuk pula quality time antara ayah dan anak.

 

Dengan adanya peran ayah bukan berarti ada perbedaan tanggung jawab antara ibu dan ayah. Semua orang di dalam keluarga harus menunjukkan tanggung jawabnya dan harus dilibatkan, tidak ada yang mendapat dispensasi atau perbedaan.

 

TANGGUNG JAWAB ABK

 

Bagaimana dengan anak berkebutuhan khusus (ABK) apakah rasa tanggung jawabnya bisa dilatih? Bisa! Perlakukan ABK sama dengan anak normal. Mereka juga akan selalu melihat dan mengamati orangtua. Sekali lagi, setiap anak belajar dari proses imitasi. Jadi, selalu beri contoh dan libatkan ABK dalam kegiatan sehari-hari.

 

Justru anak-anak berkebutuhan khusus jika dilatih cenderung akan jauh lebih disiplin.

Keterlibatan ABK pada kegiatan sehari-hari tidak perlu dikonsultasikan kepada psikolog. Cukup kenali sejauh mana perkembangan anak, baik fisik maupun mental. Dengan begitu, kita akan mengetahui secara tepat metode apa yang cocok untuk menerapkan rasa tanggung jawab padanya. (Nakita)

 

Anda Perlu Bantuan Psikolog?

Psikolog berpengalaman dan kompeten di bidang perkembangan, klinis, dan pendidikan siap membantu Anda di Kancil. Layanan ditujukan bagi anak, remaja hingga dewasa.

Mulai Konsultasi